Monday, April 23, 2018

AKHLAK DAN ADAB

Ilmu boleh dicari dengan belajar, tetapi akhlak dan adab hanya diperoleh melalui mujahadah membersihkan hati...

Jangan pelik melihat orang berilmu tetapi tiada akhlak kerana hatinya masih kotor dengan dosa dan penyakit hati...

Tidak aku temui orang yang kuat berzikir, melainkan akhlaknya amat lunak dan menenangkan...

Akhlak dan adab mendepani ilmu. Ilmu tanpa adab dan akhlak itu umpama mengisi air di dalam bekas yang berlubang.

[ Kalam Sufi ]



Saturday, April 21, 2018

JUJUR MEMBIMBING KE SYURGA

Dari Abdullah رضي الله عه dari Nabi صلى الله عليه وسلم Baginda bersabda :

"Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan itu akan membimbing ke syurga. Sesungguhnya jika seseorang yang senantiasa berlaku jujur dia akan menjadi orang yang jujur. Dan sesungguhnya bohong itu akan membimbing kepada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan memandu ke neraka. Dan sesungguhnya jika seseorang yang selalu berbohong maka dia akan menjadi sebagai seorang pembohong."
(HR Bukhari No: 5629) - Hadith Sahih

PENGAJARAN HADIS :

1. Berlaku jujur dan benar adalah suatu yang dituntut dalam Islam.

2. Orang yang bersifat jujur dan benar akan memandu kehidupannya untuk melakukan kebaikan, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan.

3. Sifat jujur dan benar akan memandu kita untuk melakukan amal ke syurga.

4. Orang yang istiqamah dan biasa melakukan sesuatu dengan benar dan jujur, dia akan menjadi seorang yang benar dan jujur.

5. Orang yang bohong dan berdusta, akan memandu kehidupannya untuk melakukan keburukan dan maksiat dengan meninggalkan perintah dan melakukan larangan.

6. Sifat bohong dan berdusta akan membimbing seseorang untuk melakukan maksiat dan pelanggaran yang akan memandunya ke neraka.

7. Orang yang biasa berbohong, dia akan kekal menjadi seorang yang pembohong dan pendusta.

Jadilah kita orang yang jujur kerana ia akan membimbing untuk melakukan amal soleh.

Jauhilah sifat bohong kerana sifat tersebut akan mendorong melakukan kemungkaran terhadap Allah.



Friday, April 20, 2018

Dakwahlah Dengan Cara Lemah Lembut

"...berilah nasehat dengan cara lemah lembut jangan dengan suara keras... kerana yang menumbuhkan tanaman itu adalah rintik hujan yang membasahi, bukan petir yang bergemuruh..."

"Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." [QS An-Nahl : 125]

"Maka dengan sebab rahmat (yang melimpah-limpah) dari Allah (kepadamu wahai Muhammad), engkau telah bersikap lemah-lembut kepada mereka (sahabat-sahabat dan pengikutmu), dan kalaulah engkau bersikap kasar lagi keras hati, tentulah mereka lari dari kelilingmu." [QS Ali Imran : 159]

"Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan mencintai kelembutan di dalam semua urusan.” (HR Bukhari)

Allah pernah memerintahkan dua orang Rasul-Nya yang mulia yaitu Musa 
عليه سلم dan Harun عليه سلم untuk mendakwahi Fir’aun dengan lembut. Allah Ta’ala berfirman :

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
[QS Thaha : 43-44]


KEBAIKAN DI DUNIA DAN DI AKHIRAT

"Barangsiapa yang dianugerahi hati yang suka bersyukur (qalban syakiran), lisan yang senantiasa berzikir (lisanan dzakiran) dan diri yang sabar (nafsan shabiran), berarti ia telah diberikan kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta dipelihara dari azab Neraka."

[ Imam Al Qasim Abu Abdurahman رضى الله عنه ]



Mengatasi Nafsu Yang Menghalangi Kebaikan

SOAL : Nafsuku telah menyulitkanku dan menghalangiku untuk mencapai kedudukan orang-orang dekat dengan Allah. Setiap aku maju selangkah dalam perjalanan mendekat kepada Allah, maka nafsuku menarikku mundur selangkah. Bagaimanakah caranya untuk menyucikan nafsuku dan menjernihkan hatiku?

JAWAB : Hadirilah majelis yang baik, berdzikirlah menyebut nama Allah, serta selalu bersemangatlah untuk mengikuti pelajaran yang dapat membantumu untuk menyucikan hawa nafsu secara terus-menerus.

Jika Allah melihat kesungguhan dalam dirimu untuk mendekat kepada-Nya, maka semua yang kau sebut di atas tidak dapat menghalangimu.

Boleh jadi Allah akan memuliakan seorang beriman yang memiliki kesungguhan dengan cara mengampuni, menutupi segala kekurangannya, menyucikan dirinya, mengangkat derajatnya dan merubah kondisinya menjadi lebih baik.

Tapi semua itu hanya akan terjadi jika dia bersungguh-sungguh, tekun dan melakukan perbuatannya itu terus menerus.

Begitulah, jika ia kembali lalai atau tergelincir melakukan dosa, hendaklah hal itu tidak menjadikannya enggan untuk kembali bertaubat dengan benar, dan menghadapkan dirinya kembali kepada Allah, serta melanjutkan kembali dzikir yang telah dilakukannya, kebiasaannya hadir di majelis dzikir dan ilmu, serta mengikuti pelajaran yang bermanfaat.

Hendaklah ia menyodorkan dirinya kepada hal-hal tersebut hingga Allah سبحانه وتعالی merahmatinya, menganugerahinya dan merubah kondisinya menjadi lebih baik.

[ Taujih an-Nabih Li Mardhah Barih lil Al-'Allamah Al-Habib Umar bin Hafidz ]


Thursday, April 19, 2018

TAMAK

"Yang menyebabkan seseorang tamak kepada kehidupan dunia ada 3 perkara :

Pertamanya : Adalah seseorang memandang dunia dengan pandangan yang indah, sehingga ia ingin tetap hidup kekal di dunia untuk bersenang-senang.

Kedua : Mengagungkan manusia menurut kedudukannya masing-masing. Hal itu menyebabkan orang saling berbangga dan berlumba-lumba mengumpulkan kekayaan.

Adapun yang ketiga : Perasaan seseorang bahwa yang tidak mempunyai harta, maka ia tidak bernilai sedikit pun di mata manusia yang lainnya, sehingga dari itu timbul rasa bakhil dan takut menjadi miskin."

[ Dinukil dari Kitab Al Hikam karya Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad 
رحمة الله تعالى ]


Diam dan Kebodohan

Sebahagian ulama' mengatakan di dalam diam itu terdapat 7 ribu kebaikan, yang terhimpun dalam 7 kalimat :

1. Ia adalah ibadah tanpa susah payah.
2. Perhiasan tanpa intan permata.
3. Kewibawaan tanpa kekuasaan.
4. Benteng tanpa pagar.
5. Tidak perlu meminta maaf kerana salah berbicara.
6. Memberi istirehat bagi Kiraman Katibin.
7. Menutupi aib yang dapat timbul kerana banyak berbicara.

Sedangkan kebodohan itu mempunyai 6 ciri :

1. Marah tanpa alasan yang tetap.
2. Berbicara tanpa manfaat.
3. Memberi tidak pada tempatnya.
4. Membukakan rahsia kepada siapa sahaja.
5. Percaya kepada setiap orang.
6. Tidak mengenal siapa kawan siapa lawan.



Kunci Untuk Mendapatkan Ilmu

Imam Abdullah bin 'Alawi al Haddad رحمة الله تعالى pernah mengatakan :

"Bertanya itu adalah kunci yang dapat menyampaikan seseorang kepada makna-makna ilmu dan rahsia-rahsia ghaib yang ada di dalam dada dan hati. Sepertimana seseorang tidak akan dapat menjumpai barang-barang dan harta benda yang berharga di dalam rumah kecuali dengan menggunakan kunci yang diperbuat daripada besi dan kayu. Demikianlah pula seseorang tidak akan dapat sampai kepada ilmu dan pengetahuan yang ada pada ulama, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuk mengambil manfaat yang disertai dengan kesungguhan, keinginan dan adab yang baik."

[ Manhaj As Sawi, Syarh Usul at-Toriq as Saadah al Ba'lawi ]



Tuesday, April 17, 2018

TANDA ORANG BERAKAL

Sebagian ahli hikmah berkata, "Tanda-tanda orang berakal ada sepuluh. Lima tanda terdapat pada lahirnya dan lima tanda terdapat pada batinnya."

Yang terdapat pada lahirnya adalah :

1. Diam
2. Rendah hati
3. Berakhlak baik
4. Jujur dalam ucapan
5. Beramal saleh

Sedangkan yang terdapat pada batinnya adalah :

6. Merenung
7. Mengambil pelajaran
8. Tunduk
9. Takut
10. Mengingat mati

[ Al-Manhaj as-Sawiy, Syarh Ushul Thariqah as-Sadah Al-Ba 'Alawi lil Al-'Allamah Al-Muhaqqiq Ad-Da'illallah Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith ]



YANG PERTAMA DIPANGGIL MASUK SYURGA

Daripada Ibnu Abbas رضي الله عه meriwayatkan bahawa Baginda Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

"Orang yang pertama sekali akan dipanggil untuk memasuki syurga ialah orang yang sentiasa berzikir memuji-muji Allah dalam keadaan senang atau susah."

[ Hadis Riwayat Hakim ]



MENJAUHI DARI SEGALA DOSA

"Hendaknya setiap orang selalu menjauhkan dirinya dari segala dosa yang kecil, apalagi yang besar. Sebagaimana dia menjauhkan dirinya dari makanan yang beracun.

Seperti dia merasa takut kalau dia terkena makanan yang mengandung racun. Begitu pula dengan perbuatan maksiat dapat membutakan hati seseorang bahkan ia lebih berbahaya dari racun yang di makan oleh seseorang."

[ Imam Abdullah bin Alwi Al Haddad 
رحمة الله تعالى ]


CAHAYA IMAN DENGAN MENGIKUTI SUNNAH

Berkata Al-Imam Abdullah Bin Mubarak رحمه الله تعالى :

“Tidak akan nampak cahaya iman pada diri seseorang kecuali dengan mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah.”



KEUTAMAAN ILMU MELEBIHI KEUTAMAAN IBADAH

Sa’id Bin Abi Waqas رضى الله عنه berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

“Keutamaan ilmu lebih aku sukai daripada keutamaan ibadah, dan sebaik-baik agama kalian adalah Wara’ (berhati-hati dari perkara yang diharamkan).”

[ Musnad al-Bazzar, 7, no.2969 dari Hudzaifah bin Yaman 
رضى الله عنه ]


Menyebarkan Rahasia Orang Lain

Seorang dilarang menyebarkan rahasia orang lain, apalagi jika orang itu adalah sahabat dekatnya sendiri.

Dalam hal ini, Baginda Nabi Muhammad 
صلى الله عليه وسلم bersabda :

إِذَا حَدَّثَ ٱلرَّجُلُ بِحَدِيْثٍ ثُمَّ ٱلْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةُ.

"Jika seorang membicarakan ucapan orang lain sampai ia menoleh kepada orang yang membicarakannya, maka hal itu termasuk ia menyebarkan rahasia seorang." (HR. Abu Daud hadits no. 4868 dan At-Tirmidzi hadits no. 1959, dikatakan bahwa hadits ini adalah hadits hasan).

Ibnu Abiddunya 
رضى الله عنه berkata bahwa Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم bersabda :

ٱلْحَدِيْثُ بَيْنَكُمْ أَمَانَهٌ.

"Pembicaraan seorang kepada yang lain merupakan suatu amanat yang tidak boleh dikatakan kepada orang lain." (HR. Ibnu Abiddunya dalam kitab ash-Shamthu halaman 406).

Al-Hasan 
رضى الله عنه berkata : "Termasuk suatu perbuatan khianat jika seorang menyampaikan pembicaraan seorang kepada orang lain. Hal itu hukumnya haram, kerana dapat membahayakan bagi seorang yang berbicara. Jika tidak membahayakan orang lain, maka pembicaraan itu merupakan penghinaan bagi dirinya."

[ al-Qabas an-Nuur al-Mubiin min Ihya' 'Ulumuddin lil Al-'Allamah Al-Habib Umar bin Hafidz ]


Hukum Menyentuh dan Memeluk Kuburan

Soal : Apa hukum menyentuh dan memeluk kuburan?

Jawab : Hukum menyentuh kuburan dan memeluknya menurut sebagian besar ulama adalah makruh. Sebagian ulama menyatakan mubah dan jaiz untuk mencari barakah. Tak ada seorang pun ulama yang mengharamkannya.

Soal : Apa dalilnya?

Jawab : Hal tersebut di atas dibolehkan, kerana tidak ada larangan dari syari' (yang membuat hukum), dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya, dan tidak ada dalil yang melarangnya.

Ada riwayat yang menjelaskan :

إِنَّ بِلَالًا رَضِيَ ٱللهُ عَنْهُ لَمَّا زَارَ ٱلْمُصْطَفَي صَلَّي ٱللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ يَبْكِي وَيُمْزِ غُ خَدَّيْهِ عَلَي ٱلْقَبْرِ الشَّرِ يْفِ

"Sesungguhnya Bilal رضى الله عنه ketika ziarah kepada Al-Musthafa Muhammad صلى الله عليه وسلم terus menangis dan menempelkan kedua pipinya ke kuburnya yang mulia."

إِنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ ٱللهُ عَنْهُمَا كَانَ يَضَعُ يَدَهُ ٱلْيُمْنَي عَلَيْهِ

"Sesungguhnya Ibnu Umar رضى الله عنه selalu meletakkan tangan kanannya ke kuburan Nabi صلى الله عليه وسلم."

Keterangan ini disebutkan oleh Al-Khatib Ibnu Jamlah. Imam Ahmad رحمة الله تعالى meriwayatkan dengan sanad yang hasan :

عَبِ ٱلْمُطَّلِبِ بْنِ عَبْدِ ٱللهِ بْنِ حَنْطَبٍ قَالَ اَقْبَلَ مَرْ وَانُ بْنُ ٱلْكَمِ فَإِذَا رَجُلٌ مُلْتَزَمُ ٱلْقَبْرِ فَأَخَذَ بِرَقَبَتِهِ ثُمَّ قَالَ هَلْ تَدْرِي مَاتَصْنَنُ؟ فَاَقْبَلَ عَلَيْهِ ٱلرَّ جُلُ وَقَالَ نَعَمْ اِنِّي لَمْ اۤتِ ٱلْحَجَرَ وَٱللَّبِنَ وَاِبَّمَا جِئْتُ رَ سُوْلَ ٱللهِ صَلَّي ٱللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ ٱلْمُطَّلِبُ ذُلِكَ ٱلرَّ جُلُ هُوَ اَبُو اَيُّوب ٱلْأَنْصَارِيُّ


Dari Al-Mutthalib bin Abdullah bin Hanthab رحمة الله تعالى ia berkata : Marwan bin Al-Hakam datang, tiba-tiba ada seorang laki-laki memeluk kuburan. Marwan bin Al-Hakam memegang leher orang itu dan berkata : "Apakah engkau mengerti, apa yang kamu perbuat?" Si laki-laki itu menatap Marwan bin Al-Hakam dan berkata : "Ya, sesungguhnya saya tidak menziarahi batu dan bata, namun saya semata-mata mendatangi Rasulullah صلى الله عليه وسلم." Al-Mutthalib berkata: "Si laki-laki itu adalah Abu Ayyub Al-Anshari رضى الله عنه."

Keterangan dijelaskan oleh Syeikh Syamduri رحمة الله تعالى dalam kitab Khulashat Al-Wafa.

Tidak satu pun imam umat Islam menghukumi haram memeluk kuburan dan mengusap-usapnya, apalagi menganggapnya sebagai perbuatan syirik dan kafir. Mereka berbeda pendapat hanya sampai pada hukum karahah (makruh). Barangsiapa berkata berlawanan dengan ucapan imam-imam umat Islam tersebut dan menghukumi syirik orang-orang yang memeluk dan mengusap-usap kuburan, maka ia harus dapat mengemukakan dalil.

[ Al-Ajwibah al-Ghaliyah fi' Aqidah al-Firqah an-Najiyah lil Al-'Allamah Al-Muhaqqiq Ad-Da'illallah Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith ]


BERAMAL TANPA ILMU

Daripada Al-Imam Hasan Al-Basri رحمه الله تعالى ia berkata,

“Seorang yang beramal tanpa ilmu bagaikan seorang yang berjalan keluar daripada jalanan, dan seorang yang beramal tanpa ilmu merosakkan lebih daripada ia memperbetulkan. Maka tuntutlah ilmu dengan cara ia tidak menjejaskan (meninggalkan) ibadahmu, dan beribadahlah kepada (Allah) dengan cara ia tidak menjejaskan pembelajaran ilmumu. Sesungguhnya, mereka adalah (Khawarij) yang beribadah kepada Allah tetapi meninggalkan pembelajaran ilmu.”

[ Riwayat Ibn ‘Abd Al-Barr, Jâmi’ Bayân Al-’Ilm wa Fadlihi no.905.]



SEMUA AMAL PERBUATAN BERGANTUNG PADA NIATNYA

Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata, bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id Al Ansari berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim At Taimi, bahwa dia pernah mendengar Alqamah bin Waqas Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khathtab رضى الله عنه di atas mimbar berkata;

Saya mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya kerana dunia yang ingin dicapainya atau kerana seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.”

[ Sahih al-Bukhari ]


PESAN HABIB ABDULLAH BIN ALWI AL-HADDAD KEPADA PARA PEJUANG ISLAM

قال الحبيب عبدالله بن علوي الحداد رحمه الله تعالى :

" و ما أحسن حال العبد إذا ضرب أو حبس أو شتم بسبب قيامه بحقوق ربه ، و أمره بطاعته و نهيه عن معصيته !! ذلك دأب الأنبياء و المرسلين و الأولياء و الصالحين و العلماء العاملين ."


Artinya :

Al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad رحمه الله تعالى berkata :

"Alangkah baiknya keadaan seorang hamba jika di pukul, di penjara dan di caci maki di sebabkan menegakkan hak - hak Tuhannya, (di sebabkan) ia selalu menyuruh untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dan (disebabkan) ia selalu mencegah dari berbuat kemaksiatan kepada Allah !!

Yang demikian itulah adat kebiasaan para Nabi, para Rasul, para wali-wali, orang-orang saleh dan kebiasaan para ulama yang mengamalkan ilmunya."


Apakah Orang Yang Telah Meninggal Dapat Merasa dan Mendengar?

Soal : Apakah orang-orang yang telah meninggal itu dapat merasa dan mendengar? Apa yang harus diperbuat dan dikatakan kepada mereka?

Jawab : Ya, orang-orang yang telah meninggal itu dapat merasa dan dapat mendengar. Kerana itu, Nabi 
صلى الله عليه وسلم mensyariatkan ziarah kubur dan mengucapkan salam kepada ahli kubur dengan ungkapan bentuk langsung (khitab), dan Baginda sendiri sering menziarahi ahli Baqi' dengan mengucapkan :

ٱلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاۤءَ ٱللهُ بِكُمْ لَاحِقُوْنَ اَنْتُمْ لَنَا فُرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ.


"Keselamatan dari Allah mudah-mudahan dilimpahkan kepada kamu semua penduduk kawasan orang-orang yang beriman. Sesungguhnya kami akan menyusul kamu semua, jika Allah sudah menghendaki. Kamu semua mendahului kami dan kami akan menyusul kamu."

Andaikata orang-orang yang telah meninggal dunia itu tidak dapat merasa dan tidak mendengar, maka mustahil Rasulullah 
صلى الله عليه وسلم mengucapkan salam kepada orang-orang yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat berfikir.

Soal : Apa dalilnya penjelasan tersebut di atas?

Jawab : Dalilnya adalah riwayat Ibnu Abi ad-Dun-ya 
رحمة الله تعالى, dalam kitab al-Kubur :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ ٱللهُ عَنْهَا اَنَّ ٱلنَّبِيَّ صَلَّي ٱللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ رَجُلٍ يَزُوْرُ قَبْرَ اَخِيْهِ فَيَجْلِسُ عِنْدَهُ اِلَّا ٱسْتَأْنَسَ بِهِ وَرُدَّتْ عَلَبْهِ رُوْحُهُ حَتَّي يَقُوْمَ عِنْدَهُ.


Dari Aisyah 
رضي الله عنها sesungguhnya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda : "Tak ada seorang laki-laki yang mendatangi kuburan saudaranya dan duduk di dekatnya, melainkan ia (yang di dalam kubur) merasa tenteram dengannya dan ruhnya dikembalikan sampai si laki-laki itu pergi darinya."

Di dalam Sunan Abi Dawud disebutkan :

عَنِ ٱلنَّبِيِّ صَلَّي ٱللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَامِنْ رَجُلٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ اَخِيْهِ كَانَ يَعْرِ فُهُ بِالدُّنْيَا فَسَلَّمَ عَلَيْهِ اِلَّا رُدَّتْ عَلَيْهِ رُوْحُهُ حَتَّي يَرُدَّ عَلَيْهِ ٱلسَّلَامَ.

Dari Nabi 
صلى الله عليه وسلم : "Tak ada seorang lelaki yang melewati kuburan saudaranya yang dikenalnya sewaktu hidup di dunia lalu mengucapkan salam kepadanya, melainkan ruh orang yang di dalam kubur itu dikembalikan sampai ia menjawab ucapan salam si lelaki itu."

Imam Ibnu Al-Qayyim dalam kitab Zad al-Ma'ad bab keistimewaan hari Jum'at menjelaskan, sesungguhnya ruh orang-orang yang mati itu mendekat ke kuburan mereka dan mendatanginya pada setiap hari Jum'at, sehingga mereka mengetahui orang-orang yang menziarahinya dan mengetahui orang yang melewati mereka, orang yang membacakan salam kepada mereka dan orang yang menjumpai mereka di hari itu dengan lebih banyak daripada mengetahui mereka semua pada hari selain Jum'at.


[ Al-Ajwibah al-Ghaliyah fi' Aqidah al-Firqah an-Najiyah lil Al-'Allamah Al-Muhaqqiq Ad-Da'illallah Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith ]


Monday, April 16, 2018

TIDAK MENCARI KEREDHAAN MANUSIA DENGAN KEMURKAAN ALLAH

Sayyidina Abdullah bin Mas’ud رضى الله عنه mengatakan,

“Yakin adalah engkau tidak mencari keredhaan manusia dengan kemurkaan Allah سبحانه وتعالی, engkau tidak memuji seorang pun atas rezeki dari-Nya, engkau tidak pula mencela orang lain atas sesuatu yang tidak Dia berikan untukmu. Sesungguhnya, rezeki itu tidak ditarik oleh semangat seseorang, tidak pula ditolak oleh ketidaksukaan seseorang. Allah سبحانه وتعالی - dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya - menjadikan kelapangan dan kesenangan ada bersama keyakinan dan keredhaan. Dia juga menjadikan kegundahan dan kesedihan ada bersama keraguan dan ketidakredhaan.”

[ Jami’ul Ulum wal Hikam hlm. 392 ]



NIKMAT DAN MUSIBAH

"Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang paling aku bimbangkan menimpa kamu semua, akan tetapi yang aku bimbangkan adalah dihamparkan kepada kamu semua kekayaan dunia, sebagaimana telah dihamparkan kepada umat sebelum kamu semua, lalu kamu semua berlumba-lumba mendapatkannya sebagaimana mereka berlumba-lumba mendapatkannya sehingga kamu semua binasa sebagaimana mereka binasa." (HR Al Bukhari dan Muslim)

"Alangkah silap fahamannya jika dalam fikiran kita masih memahami segala kemudahan dunia adalah nikmat dan segala musibah dunia adalah azab. Padahal belum tentu sedemikian. Belum tentu kemudahan dan kesenangan dunia adalah bentuk cinta daripada Allah 
سبحانه وتعالی. Belum tentu kesukaran dunia adalah bentuk murka daripada-Nya.

Ada suatu kisah menarik. Pada suatu hari, seorang lelaki bertanya kepada Imam Hasan Al-Basri 
رحمة الله تعالى, "Sesungguhnya aku melakukan banyak dosa. Tetapi ternyata tetap murah rezekiku. Bahkan lebih banyak daripada sebelumnya."

Sang Imam lantas bertanya, "Adakah semalam kamu melaksanakan qiyamullail?"

Lelaki itu menjawab, "Tidak."

Dengan kalimat bijak, Imam Hasan Al-Basri 
رحمة الله تعالى menasihatkan kepada lelaki tersebut, "Sesungguhnya jika Allah سبحانه وتعالی terus menghukum semua makhluk yang berdosa dengan memutuskan rezekinya, maka semua manusia di bumi ini sudah habis binasa. Sesungguhnya dunia ini tidak bernilai di sisi Allah سبحانه وتعالی walau sehelai sayap nyamuk pun, maka Allah سبحانه وتعالی tetap memberi rezeki bahkan kepada orang yang kufur sekalipun kepada-Nya. Adapun kita orang mukmin, hukuman bagi melakukan dosa adalah terputusnya kemesraan dengan Allah سبحانه وتعالی.

Sedarlah kita, bahawa musibah yang sebenarnya adalah ketika kita memperolehi kesenangan dunia tetapi kerana kesenangan itu kita lantas menjadi jauh daripada Allah 
سبحانه وتعالی. Musibah yang sejati adalah segala sesuatu yang menjauhkan kita daripada-Nya. Sementara kurnia yang sejati adalah segala sesuatu yang menjadikan kita dekat kepada-Nya.

Boleh jadi yang selama ini kita anggap sebagai musibah, ternyata itu adalah bentuk cinta daripada-Nya. Kadangkala ada orang tertentu yang baru mahu mendekatkan diri kepada-Nya ketika dia berada dalam hidup yang sukar. Ketika Allah 
سبحانه وتعالی rindukan tangisannya di dalam keheningan malam, ketika Allah سبحانه وتعالی rindukan keluhan mesra di dalam rangkaian doanya, ketika Allah سبحانه وتعالی rindukan rasa khusyuknya dalam solatnya, maka segera dikurniakan kesukaran hidup kepadanya."


Sunday, April 15, 2018

Kepentingan Ilmu Tauhid Dalam Islam

Di antara ilmu wahyu yang paling utama dan paling mulia adalah ilmu tauhid (aqidah) kerana ianya merupakan cabang ilmu yang berkaitan tentang Allah سبحانه وتعالی. Nama dan Sifat-Nya, di samping cabang-cabang ilmu yang lain yang merupakan asas kepada gagasan keilmuan Islam. Allah سبحانه وتعالی berfirman di dalam al-Quran yang mulia :

فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ

Bermaksud : "Oleh itu, maka tetapkanlah pengetahuanmu dan keyakinanmu (Wahai Muhammad) bahawa sesungguhnya tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah." (Surah Muhammad 47 : 19)

Perkataan tauhid atau aqidah secara umumnya menggambarkan lafaz tradisi yang penting dan menjadi pegangan akidah khususnya bagi umat Islam iaitu merasa yakin dan saksi bahawa ‘Tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah’. Syahadah dan Muslim merupakan satu perkaitan yang amat padu tanpa boleh dipisahkan. Lafaz saksi ini merupakan satu lafaz wajib dan menjadi asas kepada semua kepercayaan dan pelaksanaan dalam kehidupan seharian umat Muslim. Penegasan terhadap konsep tauhid ini banyak dijelaskan dan diungkapkan di dalam sumber-sumber Islam terutama dalam menyatakan tauhid sebagai matlamat penciptaan.

Oleh kerana pentingnya ilmu aqidah maka kita dapati seluruh para ilmuan Islam akan mengutamakan ilmu aqidah. Perkara ini dapat dipetik dari kenyataan Imam tertua di antara mazhab empat iaitu Imam Abu Hanifah رحمة الله تعالى menyatakan dalam kitab beliau Fiqh al-Absat yang bermaksud : “Ketahuilah bahawa mendalami ilmu usuluddin (aqidah) itu lebih mulia dari mendalami ilmu fiqh.” Kenyataan ini tidak bermakna kita tidak harus mempelajari ilmu fiqh langsung, akan tetapi Imam Abu Hanifah رحمة الله تعالى menerangkan kemuliaan mempelajari dan mengutamakan ilmu aqidah. Begitu juga para ulama yang lain mengutamakan ilmu ini seperti Imam yang menjadi pegangan mazhab di tanah air kita iaitu Imam Syafi'e رحمة الله تعالى menyatakan yang bermaksud : “Kami telah mendalami ilmu tersebut (aqidah) sebelum ilmu ini (fiqh).”

Adalah dimaklumi bahawa akidah memainkan peranan besar dalam membentuk insan yang sempurna, sebuah masyarakat yang harmoni dan negara yang aman dan sejahtera. la turut mampu berperanan mencorakkan seluruh aktiviti manusia, termasuk kegiatan pembangunan ummah yang bertujuan untuk membolehkan seluruh ahli masyarakat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.



Saturday, April 14, 2018

KEWAJIPAN MENTAKZIMKAN RASULULLAH ﷺ

Kata al-Qadhi ‘Iyadh رحمة الله تعالى dalam kitabnya al-Syifa bi Ta‘rif Huquq al-Mustafa (juz. 2, hal. 35-36) :

“Ketahuilah bahawa kehormatan Nabi ﷺ sesudah wafatnya serta memulia dan mengagungkannya adalah lazim (wajib), sebagaimana hal keadaan pada masa hidupnya. Dan yang demikian itu adalah ketika menyebut Baginda ﷺ, menyebut hadith dan sunnahnya, mendengar nama dan sirahnya, bermuamalah dengan ahli keluarganya serta memuliakan Ahlul Bait dan para sahabatnya.”


Kata Abu Ibrahim al-Tujibi رحمة الله تعالى :

“Wajib atas setiap mukmin apabila menyebut Baginda ﷺ atau disebut nama Baginda ﷺ di sisinya hendaklah ia tunduk, khusyuk, hormat dan diam dari bergerak serta merasakan kehebatan Baginda ﷺ dan kehormatannya, sebagaimana dirinya akan berasa begitu sekiranya dia sendiri berada di hadapan Baginda ﷺ, serta beradab sebagaimana yang telah diajarkan oleh Allah Taala kepada kita.”


Kata al-Qadhi ‘Iyadh رحمة الله تعالى lagi : 

“Beginilah akhlak para salafussoleh dan imam-imam kita dahulu (رضي الله عنهم).”


Akhlak Para Salaf Terhadap Rasulullah ﷺ :

Imam Malik رحمة الله تعالى pernah bertemu Ayyub al-Sakhtiyani رحمة الله تعالى, seorang perawi hadith yang masyhur, katanya :

“Apabila disebutkan Nabi ﷺ, beliau akan menangis sehingga aku berasa kasihan terhadapnya.”


Kata Mus‘ab bin ‘Abdullah رحمة الله تعالى :

"Imam Malik رحمة الله تعالى apabila menyebut Nabi ﷺ akan berubah warna rupanya dan menundukkan kepala sehingga menyukarkan hal tersebut kepada orang-orang yang duduk bersamanya. Lalu pada suatu hari beliau ditanya mengenai hal berkenaan, maka jawab beliau :

“Sekiranya kamu sekalian melihat apa yang aku lihat, nescaya kamu sekalian tidak akan hairan kepadaku terhadap apa yang kamu lihat.”



Aku pernah melihat Muhammad bin al-Munkadir رحمة الله تعالى, dan beliau adalah penghulu para qurra’, hampir-hampir tidak pernah kami bertanya kepadanya mengenai sesuatu hadith pun melainkan beliau akan menangis sehingga kami berasa kasihan terhadapnya.


Aku pernah melihat Imam Ja‘far bin Muhammad al-Sadiq رحمة الله تعالى, dan beliau seorang yang banyak bergurau dan tersenyum, namun apabila disebut di sisinya Nabi ﷺ, rupa beliau akan berubah menjadi kekuningan (kerana pucat), dan tidak pernah aku melihatnya meriwayatkan hadith dari Rasulullah ﷺ melainkan dalam keadaan suci.


Pernah ‘Abdul Rahman bin al-Qasim رحمة الله تعالى menyebut Nabi ﷺ, lalu kami lihat kepada warna rupanya seolah-olah telah keluar darah daripadanya (kerana pucat lesi), dan lidahnya menjadi kering dan kelu di dalam mulutnya kerana merasakan kehebatan Rasulullah ﷺ.


Aku juga pernah datang kepada ‘Amir bin ‘Abdullah bin al-Zubair رضي الله عه, apabila disebut di sisinya Rasulullah ﷺ beliau akan menangis sehingga tidak tinggal lagi air mata di matanya.


Aku pernah melihat al-Zuhri رحمة الله تعالى, dan beliau adalah orang yang paling ramah dan mesra, namun apabila disebut di sisinya Nabi ﷺ, maka dia seolah-olah tidak mengenali kamu dan kamu tidak mengenalinya.


Aku juga pernah datang kepada Safwan bin Sulaim رحمة الله تعالى, dan beliau adalah dari kalangan ahli ibadah, namun apabila beliau menyebut Nabi ﷺ, beliau akan menangis dan terus-terusan menangis sehingga orang-orang akan bangun dan meninggalkannya."


Al-Hafiz al-Sakhawi رحمة الله تعالى mengulas dalam kitabnya al-Qawl al-Badi‘ (hal. 350) :

“Maka jika kamu amati benar-benar hal ini, kamu akan tahu apa yang wajib ke atasmu dari rasa khusyuk, tunduk, hormat, beradab dan tekun mengucapkan selawat dan salam apabila menyebut nama Baginda ﷺ atau mendengar namanya yang mulia.”


للهم صلي على سيدنا محمد عبدك ونبيك ورسولك النبي الامي وعلى اله وصحبه وسلم تسليما بقدر عظمة ذاتك في كل وقة وحين


KU NIKAHI DIA KERANA AGAMANYA

Imam Yahya bin Yahya an-Naisaburi رضى الله عنه menceritakan : "Suatu hari, ada seorang lelaki mendatangi Imam Sufyan bin 'Uyainah رضى الله عنه dengan berkata : "Wahai Abu Muhammad (kunyah/gelaran Imam Sufyan)! Aku ingin mengadukan kepadamu tentang keadaan isteriku. Aku menjadi lelaki yang paling hina dimatanya."

Maka Imam Sufyan رضى الله عنه menggeleng-gelengkan kepalanya kehairanan dan kemudian berujar : "Mungkin, keadaan itu muncul kerana engkau menikahinya untuk meraih kehormatan?"

Lelaki itu pun mengakuinya : "Ya, betul wahai Abu Muhammad."

Imam Sufyan lalu berpesan : "Barang siapa pergi kerana mencari kehormatan, nescaya akan diuji dengan kehinaan. Barangsiapa mengerjakan sesuatu lantaran dorongan harta, nescaya akan diuji dengan kefakiran. Barangsiapa mengerjakan sesuatu kerana dorongan agama, nescaya Allah akan menghimpun kehormatan dan harta bersama agamanya."

Lalu, Imam Sufyan رضى الله عنه mula bercerita :

"Kami adalah empat bersaudara, Muhammad, Imran, Ibrahim, dan aku sendiri. Muhammad adalah abang sulung. Imran anak bongsu. Sedangkan aku berada di tengah-tengah.

Tatkala Muhammad ingin menikah, ia menginginkan kemuliaan nasab. Maka ia menikahi wanita yang lebih tinggi kedudukannya. Kemudian Allah mengujinya dengan kehinaan.

Sedangkan Imran, (saat menikah) ingin mendapatkan harta. Maka ia menikahi wanita yang lebih kaya dari dirinya. Allah kemudian mengujinya dengan kemiskinan. Keluarga wanita mengambil seluruh yang dimilikinya, tidak menyisakan sedikitpun.

Aku pun merenungkan nasib keduanya. Sampai akhirnya Ma’mar bin Rasyid datang menghampiriku. Aku pun berbincang dengannya. Aku ceritakan kepadanya peristiwa yang menimpa para saudaraku. Ia mengingatkanku dengan hadis Yahya bin Ja’daj رضى الله عنه dan hadits Aisyah رضي الله عنها.

Hadis Yahya bin Ja’dah رضى الله عنه yang dimaksudkan, iaitu sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

"Wanita dinikahi kerana empat perkara : Kerana hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Carilah wanita yang beragama, nescaya kamu akan beruntung."

Sedangkan hadits Aisyah رضي الله عنها, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :

"Wanita yang paling besar berkatnya adalah wanita yang paling ringan beban pembiayaannya."

Maka, aku memutuskan untuk memilih bagi diriku (wanita yang) memiliki agama dan beban yang ringan untuk mengikuti sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Allah menghimpunkan bagiku kehormatan dan limpahan harta dengan sebab agamanya."

Itulah salah satu hikmah yang muncul dari lisannya. Tidak sedikit untaian hikmah dari Imam Sufyan رضى الله عنه yang mencerminkan kekuatan pegangannya dengan sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم dan kedekatannya dengan Al-Khaliq, Allah سبحانه وتعالی.

[ Sumber : Tahdzibul Kamal Fi Asmai ar-Rijal (3/223-228) karya Imam al-Hafiz Jamaluddin Abul Hajjaj Yusuf al-Mizzi رضى الله عنه.]



Friday, April 13, 2018

4 JENIS HATI

Sebaik-baiknya hati adalah yang bersih suci dari keburukan, yang tunduk kepada yang haq (kebenaran) dan petunjuk yang diliputi kebaikan. Di dalam Hadits dikatakan :

Hati itu ada 4 jenis :

1. Hati yang tidak berselaput, di dalamnya terdapat pelita yang menerangi. Ini hati orang mukmin.
2. Hati yang hitam tak tentu tempatnya. Ini hati orang kafir.
3. Hati yang terbelenggu di atas kulitnya. Ini hati orang munafik.
4. Hati yang mendatar, padanya terdapat iman dan nifaq (kemunafikan).

Perumpamaan iman yang meliputinya seperti batang tumbuhan yang disirami air tawar. Sedangkan perumpamaan nifaq seperti setumpuk kudis yang diselaputi nanah dan darah busuk. Maka yang mana di antara keduanya berkuasa, kesitulah hati tertarik.

Hati yang ke-4 inilah yang terdapat pada kebanyakan kaum muslimin. Amalnya bercampur aduk sehingga keburukannya lebih banyak daripada kesempurnaannya. Dalam Hadits lain dikatakan :

"Sesungguhnya iman itu bermula muncul di dalam hati sebagai sinar putih, lalu membesar, hingga seluruh hati menjadi putih. Sedangkan nifaq itu bermula muncul di dalam hati seperti noda-noda hitam, lalu menyebar, hingga seluruh hati menjadi hitam."
Sesungguhnya iman akan bertambah dengan cara menambah amal saleh disertai keikhlasan. Sedangkan nifaq akan bertambah dengan cara mengerjakan amal buruk, seperti meninggalkan perkara wajib dan melakukan larangan agama. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
"Barangsiapa melakukan dosa, maka akan tumbuh dalam hatinya setitik hitam. Jika ia bertaubat, maka terkikislah titik hitam itu dari hatinya. Jika ia tidak bertaubat, maka menyebarlah titik hitam itu sehingga seluruh hatinya menjadi hitam."

[ Disarikan dari Nashoih Diniyyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad 
رحمة الله تعالى ]


Thursday, April 12, 2018

Makan Dan Minum Orang Mukmin

عَنْ جَابِرٍ وَابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ

Dari Jabir dan Ibnu Umar رضي الله عنهم, bahawa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

“Orang mukmin makan dengan satu usus (perut) sedangkan orang kafir makan dengan tujuh usus (perut).” (HR Bukhari No: 3841) Hadis Sahih.

Pengajaran :

1. Orang mukmin makan dan minum dalam kadar yang sederhana mengikut adab dan akhlak.

2. Orang mukmin perlu berbeza dengan orang kafir antaranya dalam bab makan dan minum. Mukmin hanya makan sedikit (satu perut) berbeza dengan orang kafir, makannya berlebihan (untuk tujuh perut).

3. Imam An-Nawawi رحمة الله تعالى :  Maksud hadis ini adalah agar menyedikitkan (kecenderungan) kepada dunia dan motivasi agar sentiasa zuhud dan qana’ah (merasa cukup). Beliau juga menyatakan : Sedikit makan merupakan kemuliaan akhlak seseorang dan banyak makan adalah lawannya.

4. Imam Asy-Syafi’i رحمة الله تعالى : Kekenyangan membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk beribadah.


MAKRIFATNYA MATA HATI (NUR BASHIRAH) TERHADAP ALLAH...

شُعَاعُ الْبَصِيرَةِ يُشـْهِدُكَ قـُرْبَهُ مِنْكَ وَعَيْنُ الْبَصِيرَةِ يُشـْهِدُكَ عَدَمكَ لِوُجُودهِ وَحَق ُّ الْبَصِيرَةِ يُشـْهِدُكَ وُجُودَهُ لاَ عدَمكَ وَلاَ وُجُودَكَ

“Sinar matahati (Syu’aa ’ul bashirah) itu dapat memperlihatkan dekatnya Allah kepadamu. Dan penyaksian matahati (Ainul bashiirah) itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ketiadaan ['adam] mu kerana wujud [ada-Nya] Allah dan hakikat matahati (Haqqul bashirah) itulah yang menunjukkan kepadamu, hanya adanya Allah, bukan ketiadaanmu ['adam] dan bukan pula wujudmu.”

[ Al-Hikam - Syeikh Ibn Atha'illah As-Sakandari رضي الله عه ]


RUKUN AGAMA : Islam, Iman, Ihsan

Kebelakangan ini telah wujud kekeliruan di dalam masyarakat berkaitan rukun agama. Islam sebagai agama yang syumul telah sedia ada jawapan dan penerangan tentang kesyumulan kaedah beragama. Penerangan ini dapat diambil dengan apa yang mahsyur dipanggil sebagai Hadis Jibril عليه سلم.

Dari Sayyidina Umar bin Al-Khatthab رضي الله عه berkata : “Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di sisi Rasululah صلى الله عليه وسلم . Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi صلى الله عليه وسلم, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi صلى الله عليه وسلم dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi صلى الله عليه وسلم, kemudian ia berkata :

“Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”


Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab, “Islam itu ialah bahawa engkau mengakui tiada Tuhan melainkan Allah dan bahawasanya Muhammad itu pesuruh Allah, mendirikan solat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya.” Ia berkata,”Engkau benar!” Maka kami hairan, ia yang bertanya dan ia pula yang membenarkannya.

Kemudian ia bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang Iman.”

Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari kemudian, dan engkau beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk.” Ia berkata : “Engkau benar!”

Dia bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang ihsan.”

Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab : “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah سبحانه وتعالی seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihat engkau.”

Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku tentang Kiamat?”

Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab : “Tidaklah orang yang ditanya tentangnya lebih tahu dari orang yang bertanya.”

“Kalau begitu khabarkan kepadaku tentang tanda-tandanya.”


Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab : “Tanda-tandanya itu ialah bila hamba-hamba telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang tidak berkasut, tidak berpakaian, miskin, pengembala kambing (berbangga-bangga) menegakkan dan meninggi-ninggikan binaan.”

Kemudian ia pun pergi, lalu aku pun terdiam beberapa lama. Setelah itu Rasulullah صلى الله عليه وسلم bertanya : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”

Kataku : “Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata :

“Sesungguhnya dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” 
(HR Muslim, no.8). [1]


Menerusi hadis kedua daripada “Hadith 40’’ karangan Imam Nawawi رحمة الله تعالى ini jelaslah bahawa tiga rukun penting yang diterapkan dalam rukun agama.

Pertama, berkenaan Islam di mana ketika Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم ditanya oleh Jibril عليه سلم. Baginda Nabi صلى الله عليه وسلم telah menghuraikan lima rukun Islam iaitu mengucapkan dua kalimah syahadah, mendirikan solat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan mengerjakan haji di Baitullah sekiranya mampu. Maka, ia dipanggil sebagai Rukun Islam.

Kedua, Jibril عليه سلم telah bertanyakan berkenaan Iman. Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم telah menghuraikan makna iman dengan enam rukunnya iaitu, Beriman kepada Allah, para MalaikatNya, KitabNya, para RasulNya, hari Kiamat dan Qada’ Qadar. Maka, ia dipanggil sebagai Rukun Iman.

Selanjutnya Baginda Nabi صلى الله عليه وسلم ditanya perihal Ihsan, maka Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم menerangkan bahawa ihsan itu ialah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya, tetapi jika engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya Ia melihat engkau. Maka, ia dipanggil sebagai Rukun Ihsan.

Melalui tiga pertanyaan di atas, dapatlah kita simpulkan bahawa 3 rukun penting yang ada iaitu Rukun Islam, Rukun Iman dan Rukun Ihsan. Rukun Islam adalah berkaitan dengan hal-hal praktikal melaksanakan perintah-perintah agama. Ia bersangkut paut dengan kaedah ibadah, muamalah, munakahah, jenayah dan seterusnya sekali gus membezakan antara muslim dan kafir seperti solat, puasa, zakat, dan haji. Muslim yang sebenar sentiasa berusaha melaksanakan segala perintah dan laranganNya. Maka, ilmu pada rukun ini adalah Feqah.

Seterusnya Rukun Iman adalah berkaitan dengan hal-hal ketauhidan. Di dalam rukun ini menerapkan soal kepercayaan yang wajib kita Imani. Ia bermula daripada Kepercayaan kepada Allah, para MalaikatNya, KitabNya, RasulNya, Hari Kiamat dan Qada’ Qadar. Dengan rasa percaya dan yakin, maka lahirlah sifat taat kepada segala perintah dan laranganNya. Maka, ilmu pada rukun ini adalah Tauhid.

Selanjutnya adalah berkaitan Rukun Ihsan. Rukun ini menerangkan perihal muraqabatullah iaitu kebersamaan kita dengan Allah سبحانه وتعالی. Bilamana seorang hamba yang melakukan solat, maka perasaan yang hadir akan menjadikan solat yang didirikan benar-benar ikhlas dan hanya kerana Allah سبحانه وتعالی semata-mata. Begitulah yang ingin diterapkan di dalam rukun ihsan iaitu engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya (muraqabah), tetapi jika engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia melihat engkau (musyahadah). Maka, ilmu pada rukun ini adalah Tasawwuf.

Adapun kesinambungan yang dapat diambil daripada pertanyaan Jibril عليه سلم kepada Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah rukun agama yang terbahagi kepada Rukun Islam (feqah), Rukun Iman (tauhid) dan Rukun Ihsan (tasawwuf). Islam merangkumi ilmu feqah dan perlaksanaannya dengan mengambil keberkatan imam empat mazhab iaitu Syafie, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Setiap mazhab dipelopori oleh setiap imamnya dan ijtihad mereka dalam setiap perlaksanaan hukum. Sebagai contoh perbezaaan pandangan dalam hal-hal yang membatalkan wudhuk, kadar pemberian zakat kepada asnaf zakat, penentuan awal puasa dan sebagainya.

Iman merangkumi ilmu tauhid dan terpecah kepada beberapa aliran antaranya mazhab Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pendiri aliran Asy’ariyah adalah Imam Abdul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ary رحمة الله تعالى. Imam Al Asy’ary رحمة الله تعالى lahir tahun 260H / 873M dan wafat tahun 324H / 935M. Aliran ini mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, yang mana sifat-sifat tersebut sesuai dengan Zat Tuhan sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Manakala, aliran Maturidiyah masih tergolong Ahli Sunnah seperti halnya aliran Asy’ariyah. Pendirinya adalah Imam Muhammad bin Muhammad Abu Mansur رحمة الله تعالى. Ia dilahirkan di Maturid, daerah kecil di Samarkand kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijrah dan meninggal di Samarkand juga pada tahun 332H. Menurut Imam Al-Maturidi رحمة الله تعالى, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah سبحانه وتعالی melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah سبحانه وتعالی tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mahu menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah سبحانه وتعالی bererti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya. Kedua mazhab ini adalah mazhab tauhid yang diakui menjadi teras Ahli Sunnah Wal Jamaah.

Seterusnya Ihsan yang merangkumi bidang ilmu tasawwuf. Tasawwuf bemaksud memperbaiki hati, ketekunan ‘ubudiyyah, menyucikan akhlak, dan menguatkan rohani untuk memperoleh kebahagiaan abadi; atau terpaut hati kepada dunia bertumpu kepada akhirat, bersungguh-sungguh dalam taat kepada Allah سبحانه وتعالی. Tasawwuf juga adalah ilmu untuk mentarbiyah diri dalam mencapai tingkat ihsan yang didefinisikan Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم “Engkau beribadah seolah-olah melihatNya. Maka, jika tidak dapat melihatNya, maka Allah سبحانه وتعالی melihatmu”, atau dengan istilah kaum sufi adalah musyahadah dan muraqabah seperti yang dihuraikan sebelum ini.

Sehubungan itu, memahami ketiga-tiga rukun ini memainkan peranan penting dan lengkap melengkapi dalam kehidupan seorang muslim. Seorang muslim bukan sahaja wajib memahami ilmu feqah, bukan sahaja ilmu tauhid, bukan sahaja ilmu tasawwuf, tetapi ketiga-tiga ilmu tersebut.

Jika pada ilmu feqah itu pelaksanaannya perlu kepada mengikuti salah satu mazhab empat yang muktabar. Ilmu tauhid pula perlu berpegang kepada mazhab Asy’ariah dan Maturidiah. Begitu juga pada ilmu tasawwuf. Untuk mengamalkan ilmu ini wajiblah bagi seorang mukmin agar menimba ilmu ini dari sumbernya, berguru kepada tokoh-tokohnya, meminum dari tempat minuman mereka (masyrab), serta menempuh tingkat-tingkat yang mereka telah lalui, sehingga ia mencapai apa yang telah mereka capai, memperoleh wusul dan sampai kepada tujuan. Hal ini kerana ilmu ini tidak diambil dari atas kertas (kitab), namun hanya diambil dari ahlul azwaq (tokoh sufi), tidak diperoleh dengan perkataan namun hanya dapat diambil dari khidmat kepada tokoh sufi dan bersuhbah kepada golongan (Syeikh) yang sempurna (mencapai wusul). [2]

Imam Ibnu ‘Atha'illah as-Sakandari رضي الله عه berkata :
“Seharusnya bagi mereka yang berminat untuk mendapatkan bimbingan dan menempuh jalan petunjuk agar mencari Syeikh dari golongan tahqiq (yang merealisasikan jalan ini), yang telah menempuh jalan menuju Allah سبحانه وتعالی, meninggalkan hawa nafsunya dan yang langkahnya telah mantap dalam berkhidmat kepada Tuhannya. Maka jika ia menjumpainya, laksanakanlah perintahnya dan jauhilah segala larangannya.”
Setelah kita mendalami erti tasawwuf, perlulah diketahui jalan-jalan yang membawa kepada hakikat tasawwuf yang sebenar secara praktikal iaitu dengan berthariqat. Thariqat adalah asal daripada kalimah Bahasa Arab iaitu thariq yang bermakna jalan. Jalan yang dimaksudkan di sini adalah jalan untuk menjadi orang bertaqwa, menjadi orang yang diredhai Allah سبحانه وتعالی. Secara praktikalnya thariqat adalah himpunan amalan-amalan takwa (lahir dan batin) yang bertujuan untuk membawa seseorang untuk menjadi orang bertakwa oleh gurunya yang digelar sebagai Syeikh.

Kesimpulannya, melalui hadis ini Jibril عليه سلم telah menerangkan berkenaan rukun agama yang terbahagi kepada tiga iaitu Rukun Islam, Rukun Iman dan Rukun Ihsan. Rukun Islam perlulah mendalami ilmu feqah, Rukun Iman perlulah mendalami ilmu tauhid dan Rukun Ihsan perlulah mendalami ilmu tasawwuf. Untuk melaksanakan Rukun Islam kita perlu mengikuti mazhab feqah sama ada Syafie, Hanafi, Hanbali dan Maliki. Untuk melaksanakan ilmu tauhid adalah dengan beriktikad Asy’ariah dan Maturidiah. Manakala, ilmu tasawwuf untuk melaksanakannya adalah dengan mengikut thariqat yang muktabar.

Inilah rukun agama secara syumul dan saling lengkap-melengkapi bagi mukmin yang mahu mendekatkan diri kepada Allah سبحانه وتعالی.

Imam Malik رحمة الله تعالى berkata :
“Barangsiapa mempelajari/mengamalkan Tasawwuf tanpa Fekah maka dia telah Zindik, dan barangsiapa mempelajari/mengamalkan Fekah tanpa Tasawwuf dia Fasik, dan siapa yang menghimpunkan keduanya (dengan mempelajari/mempelajari tasawwuf disertai fekah) maka dia mendapat tahqiq (kebenaran).” [3]

[1] Matan Al-Arba’in Al-Nawawiyyah, Imam Nawawi رحمة الله تعالى.
[2] Inilah Tasawuf, Sheikh Rohimuddin Bin Nawawi.
[3] Kitab Siyarus Saalikin Juzuk 1, Mukaddimah kitab - Syeikh Abdul Samad al-Falembani رحمة الله تعالى.


Wednesday, April 11, 2018

SUHBAH AL-SYEIKH DALAM ILMU THARIQAT

Suhbah bermakna persahabatan. Maksudnya ialah hubungan para sahabat dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang sangat erat dan rapat di mana Rasullullah صلى الله عليه وسلم sebagai pemimpin atau guru dan para sahabat sebagai murid. Jadi suhbah bukanlah persahabatan biasa seperti yang difahami oleh sebahagian kita. Menerusi suhbah sepanjang hayat Rasulullah صلى الله عليه وسلم itulah para sahabat dapat limpahan secara langsung Nur Nubuwwah yang sebaik-baiknya dan menjadikan para sahabat manusia yang hampir kepada Allah dan dikasihi oleh Allah. Gelaran sahabat kepada orang-orang Islam yang hidup di zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم mempunyai tujuan bahawa mereka mendapat limpahan nur nubuwwah yang tersebut. Banyak atau sedikitnya limpahan nur nubuwwah kepada mereka sangat bergantung kepada kerapatan dan keeratan hubungan mereka dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم atau pun sebaliknya.

Dengan kaedah dan tujuan yang sama suhbah digunapakai dalam hubungan para murid dengan syeikh mursyid mereka. Para murid mestilah sentiasa bersama syeikhnya sepanjang hayatnya. Murid yang sentiasa bersama syeikhnya lebih berjaya dalam perjalanan mujahadahnya jika dibandingkan dengan murid yang kurang memenuhi tuntutan suhbah. Kita dapati ramai mereka yang belajar tasawwuf dan thariqat tidak memahami konsep suhbah tersebut. Oleh sebab itu, ramai di antara mereka sesudah menerima bai’ah dan talqin daripada syeikh mursyidnya, mereka jarang mendampingi syeikh. Akibatnya himmah mereka jadi lemah, banyak masalah yang dihadapi terutamanya yang berkaitan dengan masalah agama tidak dapat diselesaikan. Begitu juga pelbagai masalah kehidupan seharian semakin bertambah rumit yang menyebabkan mereka tertekan. Padahal sepatutnya mereka mendampingi syeikh dengan harapan menerusi nasihat dan bimbingan syeikh, Allah akan limpahkan hidayat.

Ada beberapa ayat yang memerintahkan supaya para murid sentiasa berserta dengan syeikh mereka. Antaranya ialah firman Allah Ta'ala :

Maksudnya : “Wahai orang-orang beriman hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah hendaklah kamu bersama-sama golongan sadiqin.” (Surah al-Tawbah : Ayat 119)

Dari ayat tersebut dapat kita fahamkan bahawa kejayaan ketaqwaan seseorang akan banyak bergantung kepada usaha orang tersebut mendampingi secara bersungguh-sungguh golongan al-Sadiqin. Allah juga berfirman :

Maksudnya : “Hendaklah kamu ikut jalan orang yang benar-benar kembali kepadaKu (Allah).” (Surah Luqman : ayat 15)

Nabi Allah Musa عليه سلم seperti yang diceritakan oleh Allah dalam al-Quran ingin bersama dengan Nabi Allah Khidir عليه سلم untuk belajar dan menerapkan apa yang dipelajari. Terdapat juga beberapa hadith yang jelas menunjukkan pentingnya suhbah. Antaranya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas رضي الله عه yang bermaksud :
“Para sahabat bertanya ya Rasulullah صلى الله عليه وسلم siapakah orang yang sebaik-baiknya untuk kami damping selalu untuk kami belajar. Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab : “Orang yang sebaik-baiknya ialah orang yang bila kamu lihat rupanya mengingatkan kamu kepada Allah, orang yang kata-katanya menambahkan ilmu kamu, apabila kamu lihat perbuatannya mengingatkan kamu kepada akhirat.”
Syeikh Ibrahim Baijuri رحمة الله تعالى menegaskan tentang pentingnya suhbah yang bermaksud :
“Apabila mujahadah yang dilakukan oleh seorang dengan pimpinan seorang syeikh yang arif lebih baik, sebab ramai ulama’ mengatakan hal keadaan seorang di dalam seribu orang lebih memberi manfaat daripada nasihat yang diberikan oleh seribu orang yang ditujukan hanya kepada seorang. Maka adalah wajar bagi seorang murid sentiasa bersama syeikhnya yang arif yang berpegang kepada Quran dan sunnah.”

Oleh : Tuan Guru Dr. Hj. Jahid Hj. Sidek Al-Khalidi


Tuesday, April 10, 2018

JANGAN BERMAJLIS DENGAN PENGIKUT HAWA NAFSU

Al-Imam Fudhail Bin Iyadh رحمة الله تعالى berkata,

“Barangsiapa yang tawadhu’ kerana Allah, pasti Dia akan memuliakannya. Barangsiapa majlisnya bersama orang-orang miskin, maka majlis itu akan memberikannya manfaat. Jangan sesekali engkau duduk bersama orang yang akan merosakkan hatimu, dan jangan duduk bersama pengikut hawa nafsu, kerana sungguh aku khuatirkan kemurkaan Allah ke atasmu.”

[ Al-Ibanah Al-Kubra ]



DILEBIHKAN ILMU DARI MAKAN DAN MINUM

Imam Ahmad bin Hanbal رحمة الله تعالى berkata,

“Andaikata bukan kerana ilmu, sungguh manusia seperti haiwan ternakan.”

Beliau juga berkata,

“Manusia lebih memerlukan ilmu daripada makan dan minum, kerana makan dan minum dalam seharinya hanya diperlukan dua atau tiga kali, sedangkan ilmu diperlukan pada setiap saat.”

[ I’lamul Muwaqqi’in 2/257 ]


TANDA-TANDA ZUHUD

Berkata Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh رحمة الله تعالى :

“Tanda-tanda zuhud terhadap dunia dan terhadap manusia ialah : Engkau tidak suka manusia memuji diri engkau, dan engkau tidak peduli dengan cercaan mereka, dan jika engkau mampu untuk tidak dikenal maka lakukanlah, kerana tidak ada dosa bagi engkau untuk tidak dikenal, dan tidak ada dosa bagi engkau untuk tidak dipuji atasmu, dan tidak ada dosa bagi engkau untuk menjadi tercela di hadapan manusia jika engkau terpuji di sisi Allah.”

[ Hilyatul Awliya, Abu Nu’aim (8/90).]


UBAT LUPA

Syeikh Ali bin Khasyram رحمة الله تعالى berkata :

“Aku melihat Waki’ bin al-Jarrah رحمة الله تعالى tidak pernah membawa kitab, namun beliau mampu menghafal apa yang kami tidak hafal. Maka aku merasa hairan dengan hal itu sehingga aku pun bertanya kepada beliau,

“Wahai Waki’, engkau tidak pernah membawa kitab dan tidak menggoreskan yang hitam di atas yang putih (tidak mencatat -pent), namun engkau menghafal lebih banyak dibandingkan apa yang kami hafal.”

Maka Imam Waki’ رحمة الله تعالى berkata dengan membisikkan ke telingaku, “Wahai Ali, jika aku tunjukkan kepadamu ubat lupa, apakah engkau akan mengamalkannya?”

Aku pun menjawab, “Ya, demi Allah.”

Maka beliau menjelaskan, “Meninggalkan maksiat, demi Allah, aku tidak melihat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk memudahkan menghafal dibandingkan meninggalkan kemaksiatan.”

[ Siyarul A’lamin Nubala’, 6/384 ]



DUA KESEDIHAN

Syeikh Ibrahim bin Adham رحمة الله تعالى berkata :

“Kesedihan itu ada dua, satu untukmu dan satu lagi ke atasmu. Adapun kesedihanmu terhadap akhirat, maka itu untukmu. Manakala, kesedihanmu terhadap dunia dan perhiasannya, maka itu ke atasmu.”

[ Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 10/141 ]



MENINGGALKAN HAL YANG TIDAK BERMANFAAT

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:«مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ». حَدِيْثٌ حَسَنٌ, رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَغَيْرُهُ هَكَذَا


Abu Hurairah رضي الله عه berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

“Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang : Jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”

[ Hadis hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2318 dan yang lainnya ]


ENAM PERINGKAT ILMU

Abdullah Bin Mubarak رحمة الله تعالى berkata,

أول العلم النية , ثم الاستماع , ثم الفهم , ثم الحفظ , ثم العمل , ثم النشر

“Awal dari sebuah ilmu adalah niat, kemudian mendengar, kemudian memahami, kemudian mengamalkan, kemudian menjaga, kemudian menyebarluaskan.”

[ Kitabul Jihad, Jeddah: Darul Mathbu’atul Haditsiyah, hal. 2-9.]



BERSEGERA PADA PINTU KEBAIKAN

Imam Khalid Ibn Ma’daan رحمة الله تعالى berkata,

إذا فتح أحدكم باب خير فليسرع إليه ؛ فإنه لا يدري متى يغلق عنه

“Jikalau terbuka bagi salah seorang daripada kalian pintu kebaikan, maka bersegeralah padanya, sesungguhnya kamu tidak tahu bila ia akan tertutup.”

[ Al-Hilyah, 5/211 ]


TIADA HARAPAN MELAINKAN DENGAN KEMURAHAN-NYA

Syeikh Yahya bin Mu’adz ar-Razi رحمة الله تعالى berkata :

“Bagaimanakah mungkin aku diselamatkan oleh amal perbuatanku, sedangkan aku berada di antara kebaikan dan keburukan? Perbuatan burukku tiada kebaikan padanya, sedangkan perbuatan baikku tercemar oleh perbuatan keburukan, dan Engkau (Ya Allah) tidak menerima kecuali amal yang murni yang dipersembahkan untuk-Mu. Maka, tiada harapan sesudah ini kecuali kemurahan-Mu.”

[ Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no.824 dan yang semisalnya pada no. 823.]


ILMU TIADA BANDINGANNYA DENGAN NIAT YANG BENAR

Imam Ahmad bin Hanbal رحمة الله تعالى berkata,

“Ilmu itu sesuatu yang tiada bandingannya bagi orang yang niatnya benar.” “Bagaimanakah benarnya niat itu wahai Abu Abdillah?”, tanya orang kepada beliau. Maka, beliau menjawab, “Iaitu berniat untuk menghilangkan kebodohan pada diri dan orang lain.”

[ Syarh Hilyah Taalibil Ilm ]


PERUMPAMAAN ORANG YANG BERZIKIR

Dari Abu Musa رضي الله عه bahawa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda,

“Perumpamaan orang orang yang berzikir kepada Allah dan orang orang yang tidak berzikir kepada Allah, seperti orang yang hidup dan orang yang mati.”


[ HR Bukhari dan Muslim ]


Akhlak Mulia

Imam Ibnul Mubarak رحمة الله تعالى mengatakan,

“(Salah satu) bentuk akhlak mulia adalah wajah yang selalu berseri, memberikan kebaikan, dan mencegah diri dari menyakiti orang.”

[ Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/457 ]


CARILAH ILMU

Telah berkata Sayyidina Muadz bin Jabal رضي الله عه,

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk berilmu, kerana sesungguhnya mencari ilmu itu adalah ibadah, mempelajarinya kerana Allah semata merupakan kebaikan, mencurahkannya kepada keluarganya adalah bentuk kedekatan kepada Allah, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya adalah sedekah, membahasnya adalah jihad, dan membincangkannya adalah bentuk pengagungan kepada Allah.”

[ Majmu’ Fatawa Jilid 4, Hal. 42 ]


HARTA YANG TERBAIK

Dari Tsauban رضي الله عه, beliau berkata,

“Ketika turun ayat :

والذين يكنزون الذهب والفضة

‘Dan orang-orang yang menumpuk-numpuk emas dan perak.’ 
[Q.S. at-Taubah: 34],


Dahulu ketika kami bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم pada sebahagian safar Baginda, sebahagian sahabat berkata, “Telah diturunkan ayat tentang emas dan perak dan apa saja yang diturunkan (oleh Allah). Seandainya kami tahu harta apa yang paling baik, kami pasti pilih harta tersebut."

Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

أفضله لسان ذاكر وقلب شاكر وزوجة مؤمنة تعينه على إيمانه

“Harta yang paling baik adalah lisan yang senantiasa berzikir, hati yang senantiasa bersyukur, dan isteri mukminah yang mendukung suami dalam menjaga keimanannya.” 
[H.R. At-Tirmidzi no. 3094]


Wasiat Imam Hasan Al-Basri رحمة الله تعالى

Berkata Imam Al-Hasan Al-Basri رحمة الله تعالى,

“Wahai anak Adam! Sesungguhnya engkau akan mati bersendirian, dan akan dibangkitkan bersendirian, dan akan dihisab bersendirian.

Wahai anak Adam! Sekiranya manusia semuanya mentaati Allah, dan engkau berbuat maksiat maka ketaatan mereka tidaklah akan bermanfaat bagimu, dan sekiranya mereka bermaksiat kepada Allah sedangkan engkau taat maka kemaksiatan mereka tidak akan memudharatkanmu.

Wahai anak Adam! Jagalah agamamu, jagalah agamamu; kerana agama adalah darah dagingmu, jika selamat agamamu maka selamat pula darah dagingmu, namun jika selain itu, maka berlindunglah kepada Allah darinya; kerana dia (darah dagingmu) menjadi api yang tidak terpadamkan, jasad yang tidak akan lapuk, dan jiwa yang tidak akan pernah mati."

[ Az-Zuhd, Al-Hasan Al-Bashri, 23. ]



Saturday, April 7, 2018

KELEBIHAN PENUNTUT ILMU

تنبيه الغافلين أبو الليث السمرقندي.
Dinukil dari kitab Tanbihul Ghofilin karangan Asy-Syeikh Abul Laits As Samarqandi رحمة الله تعالى :

يُقَالُ مَنِ انْتَهَى إِلَى الْعَالِمِ، وَجَلَسَ مَعَهُ، وَلَا يَقْدِرُ عَلَى أَنْ يَحْفَظَ الْعِلْمَ، فَلَهُ سَبْعُ كَرَامَاتٍ
Dikatakan bahwa seseorang yang telah sampai kepada orang yang 'alim dan duduk bersamanya tetapi dia tidak mampu menghafalkan ilmu, maka orang tersebut mendapatkan tujuh kemuliaan :

أَوَّلُهَا: يَنَالُ فَضْلَ الْمُتَعَلِّمِينَ.
1. Mendapatkan keutamaan orang-orang yang belajar.


وَالثَّانِي: مَا دَامَ جَالِسًا عِنْدَهُ كَانَ مَحْبُوسًا عَنِ الذُّنُوبِ وَالْخَطَأِ.
2. Selama masih duduk bersama orang 'alim maka dia tercegah dari melakukan dosa dan kesalahan.


وَالثَّالِثُ: إِذَا خَرَجَ مِنْ مَنْزِلِهِ تَنْزِلُ عَلَيْهِ الرَّحْمَةُ
3. Ketika keluar dari rumahnya maka rahmat turun kepadanya.


وَالرَّابِعُ: إِذَا جَلَسَ عِنْدَهُ، فَتَنْزِلُ عَلَيْهِمُ الرَّحْمَةُ، فَتُصِيبُهُ بِبَرَكَتِهِمْ.
4. Ketika dia duduk di samping orang 'alim kemudian rahmat turun kepada mereka maka dia pun mendapatkan rahmat sebab berkah mereka.


وَالْخَامِسُ: مَا دَامَ مُسْتَمِعًا تُكْتَبُ لَهُ الْحَسَنَةُ.
5. Selama masih mendengarkan maka ditulis kebaikan baginya.


وَالسَّادِسُ: تَحُفُّ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا رِضًا وَهُوَ فِيهِمْ.
6. Mereka dikepung malaikat dengan sayap-sayapnya dan orang tersebut juga bersama mereka.


وَالسَّابِعُ: كُلُّ قَدَمٍ يَرْفَعُهُ، وَيَضَعُهُ يَكُونُ كَفَّارَةً لِلذُّنُوبِ، وَرَفْعًا لِلدَّرَجَاتِ لَهُ، وَزِيَادَةً فِي الْحَسَنَاتِ
7. Setiap langkah kakinya yang diangkat dan diletakkan maka menjadi penghapus bagi dosa-dosa, pengangkat derajat dan tambahan kebaikan baginya.


Kemudian Allah memuliakannya lagi dengan enam kemuliaan yang lainnya :

ثُمَّ يُكْرِمُهُ اللَّهُ تَعَالَى بِسِتِّ كَرَامَاتٍ أُخْرَى: أَوَّلُهَا: يُكْرِمُهُ بِحُبِّ شُهُودِ مَجْلِسِ الْعُلَمَاءِ
1. Allah memuliakannya dengan cintanya melihat majlisnya ulama'.


الثَّانِي: كُلُّ مَنْ يَقْتَدِي بِهِمْ، فَلَهُ مِثْلُ أُجُورِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ.
2. Setiap orang yang mengikuti mereka (ulama') maka baginya pahala sebagaimana pahala mereka tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka.


وَالثَّالِثُ لَوْ غَفَرَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمْ يَشْفَعُ لَهُ.
3. Jika salah seorang di antara mereka diampuni maka bisa memberikan syafaat kepadanya.


وَالرَّابِعُ: يُبَرِّدُ قَلْبَهُ مِنْ مَجْلِسِ الْفُسَّاقِ.
4. Hatinya menjadi dingin dari majlisnya orang-orang fasik.


وَالْخَامِسُ: يَدْخُلُ فِي طَرِيقِ الْمُتَعَلِّمِينَ وَالصَّالِحِينَ.
5. Masuk ke dalam jalannya para pelajar dan orang-orang sholih.


وَالسَّادِسُ: يُقِيمُ أَمْرَ اللَّهِ تَعَالَى
6. Menegakkan perintah Allah Ta'ala.


هَذَا لِمَنْ لَمْ يَحْفَظْ شَيْئًا، وَأَمَّا الَّذِي يَحْفَظُ فَلَهُ أَضْعَافٌ مُضَاعَفَةٌ
"Ini semua adalah bagi orang yang tidak menghafal ilmu sedikitpun. Adapun bagi orang yang menghafal ilmu, maka baginya kemuliaan yang berlipat ganda."


3 CIRI TANDA MENDAPAT HIDAYAH ALLAH

Tiga ciri menurut Imam Ghazali رحمة الله تعالى, tanda orang mendapat hidayah Allah :

Pertama, senang beribadah. Walau sibuk macam mana pun kita masih sempat dan mengutamakan ibadah, contoh solat seawal waktu.

Kedua, payah melakukan kejahatan. Kalau ada niat hendak melakukan kejahatan, ada sahaja halangan.

Ketiga, sibuk dengan keaiban diri. Maknanya sibuk periksa diri dari segi amalan dengan Allah dan perbuatan dengan sesama manusia, hingga tiada masa hendak melihat keaiban orang lain.


MENGAPA KITA MENGIKUT KATA ULAMA'? KENAPA TIDAK RUJUK TERUS DARI AL-QURAN DAN SUNNAH SAHAJA?

Suatu hari, datang seorang pemuda bernama Abdullah ke sebuah Pesantren di Indonesia bertujuan untuk bertemu dengan Kiyai di Pesantren tersebut. Maka berlakulah dialog di antara pemuda dan Kiyai di ruang tamu rumah Kiyai itu...

Pak Kiyai : "Silalah duduk anak muda, siapa namamu dan dari mana asalmu?"

Pemuda : "Terima kasih Pak Kiyai. Nama saya Abdullah dan saya berasal dari Kampung Seberang."

Pak Kiyai : "Jauh kamu bertandang ke sini, sudah tentu kamu punya hajat yang sangat besar. Apa hajatnya mana tahu mungkin saya boleh menolongmu?"

Pemuda tersebut diam sebentar sambil menarik nafasnya dalam-dalam.

Pemuda : "Begini Pak Kiyai, saya datang ke sini, bertujuan ingin berbincang beberapa permasalahan dengan Pak Kiyai. Pendeknya, permasalahan umat Islam sekarang. Saya ingin bertanya, mengapa Kiyai-Kiyai di kebanyakan pesantren di Indonesia, dan Tuan-Tuan Guru di Malaysia serta Pattani dan Asia umumnya sering kali mengajar murid-murid mereka dengan lebih suka mengambil kalam-kalam atau pandangan para ulama?

Seringkalilah juga saya mendengar mereka akan menyebut :

“Kata al-Imam al-Syafi'e, kata al-Imam Ibn Athaillah al-Sakandari, kata al-Imam Syaikhul Islam Zakaria al-Ansori dan lain-lain...”

Mengapa tidak terus mengambil daripada al-Quran dan al-Sunnah? Bukankah lebih enak kalau kita mendengar seseorang tersebut menyebutkan “Firman Allah Ta'ala di dalam al-Quran, Sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم di dalam hadis itu dan ini?”

Ulama-ulama itu juga punya kesalahan dan kekurangan. Maka mereka juga tidak lari daripada melakukan kesilapan. Maka sebaiknya kita mengambil terus daripada kalam al-Ma’sum iaitu al-Quran dan al-Sunnah??"

Pak Kiyai mendengar segala hujah yang disampaikan oleh pemuda tersebut dengan penuh perhatian. Sedikitpun beliau tidak mencelah malah memberikan peluang bagi pemuda tersebut berbicara sepuas-puasnya.

Sambil senyuman terukir di bibir Pak Kiyai, beliau bertanya kepada pemuda tersebut,

Pak Kiyai : "Masih ada lagi apa yang ingin kamu persoalkan wahai Abdullah?"

Pemuda : "Setakat ini, itu sahaja yang ingin saya sampaikan Pak Kiyai."

Pak Kiyai : "Sebelum berbicara lebih lanjut, eloknya kita minum dahulu ya. Tiga perkara yang sepatutnya disegerakan iaitu hidangan kepada tetamu, wanita yang dilamar oleh orang yang baik maka disegerakan perkahwinan mereka dan yang ketiga si mati maka perlu disegerakan urusan pengkebumiannya. Betul kan Abdullah?"

Pemuda : "Benar sekali Pak Kiyai."

Pak Kiyai lalu memanggil isterinya bagi menyediakan minuman pada mereka berdua. Maka beberapa detik selepas itu minuman pun sampai di hadapan mereka.

Pak Kiyai : "Silakan minum Abdullah."

Sebaik dipelawa oleh Pak Kiyai, maka Abdullah pun terus mengambil bekas air tersebut lalu menuangkan perlahan-lahan ke dalam cawan yang tersedia.

Pak Kiyai terus bertanya : "Abdullah, kenapa kamu tidak terus minum daripada bekasnya sahaja? Kenapa perlu dituang di dalam cawan?"

Pemuda : "Pak Kiyai, mana bisa saya minum terus daripada bekasnya. Bekasnya besar sekali. Maka saya tuang ke dalam cawan agar memudahkan saya meminumnya."

Pak Kiyai : "Abdullah, itulah jawapan terhadap apa yang kamu persoalkan sebentar tadi. Mengapa kami tidak mengambil terus daripada al-Quran dan al-Sunnah? Ianya terlalu besar untuk kami terus minum daripadanya. Maka kami mengambil daripada apa yang telah dituang di dalam cawan oleh para ulama. Maka ini memudahkan bagi kami untuk mengambil dan memanfaatkannya.

Benar kamu katakan bahawa mengapa tidak terus mengambil daripada al-Quran dan al-Sunnah. Cuma persoalan kembali ingin saya lontarkan kepada kamu. Adakah kamu ingin mengatakan bahawa al-Imam al-Syafi'e dan para ulama yang kamu sebutkan tadi mengambil hukum selain daripada al-Quran dan al-sunnah? Adakah mereka mengambil daripada kitab Talmud atau Bible?"

Pemuda : "Sudah tentu mereka juga mengambil daripada al-Quran dan al-Sunnah."

Pak Kiyai : "Kalau begitu, maka sumber pengambilan kita juga adalah daripada al-Quran dan al-Sunnah cuma dengan kefahaman daripada para ulama."

Pak Kiyai : "Satu lagi gambaran yang ingin saya terangkan kepada kamu. Saya dan kamu membaca al-Quran, al-Imam al-Syafi'e juga membaca al-Quran bukan?"

Pemuda : "Sudah tentu Pak Kiyai."

Pak Kiyai : "Baik, kalau kita membaca sudah tentu kita ada memahami ayat-ayat di dalam al-Quran tersebut bukan? Al-Imam al-Syafi'e juga memahami ayat yang kita bacakan.

Maka persoalannya, pemahaman siapa yang ingin didahulukan? Pemahaman saya dan kamu atau pemahaman al-Imam al-Syafie terhadap ayat tersebut?"

Pemuda : "Sudah tentu pemahaman al-Imam al-Syafi'e kerana beliau lebih memahami bahasa berbanding orang zaman sekarang."

Pak Kiyai : "Nah, sekarang saya rasa kamu sudah jelas bukan?
Hakikatnya kita semua mengambil daripada sumber yang satu iaitu al-Quran dan al-Sunnah. Tiada seorang pun yang mengambil selain daripada keduanya.

Cuma bezanya, kita mengambil daripada pemahaman terhadap al-Quran dan al-Sunnah tersebut daripada siapa? Sudah tentu kita akan mengambil daripada orang yang lebih dalam ilmu dan penguasaannya.

Ini kerana mereka lebih wara’ dan berjaga-jaga ketika mengeluarkan ilmu.

Hatta Imam Syafi'e رحمة الله تعالى yang berbangsa Arab sendiri pun tinggal di perkampungan Bani Huzail selama lebih kurang 10 tahun semata-mata ingin belajar Bahasa Arab mereka yang hampir dengan fushah...

Kamu tahu Abdullah, al-Imam al-Syafi'e رحمة الله تعالى pernah ditanya oleh seseorang ketika mana beliau sedang menaiki keldai, berapakah kaki keldai yang Imam tunggangi?

Maka al-Imam al-Syafie turun daripada keldai tersebut dan mengira kaki keldai tersebut.

Selesai mengira kaki keldai berkenaan, barulah al-Imam menjawab : “Kaki keldai yang aku tunggangi ada empat”. Orang yang bertanya tersebut merasa hairan lalu berkata “Wahai Imam, bukankah kaki keldai itu sememangnya empat, mengapa engkau tidak terus menjawabnya?”

Al-Imam al-Syafiee menjawab : “Aku bimbang, jika aku menjawabnya tanpa melihat terlebih dahulu, tiba-tiba Allah Ta'ala hilangkan salah satu daripada kakinya maka aku sudah dikira tidak amanah di dalam memberikan jawapan.”

Cuba kamu perhatikan Abdullah, betapa wara’nya al-Imam al-Syafie ketika menjawab persoalan berkaitan dunia. Apatah lagi kalau berkaitan dengan agamanya?

Al-Imam Malik رحمة الله تعالى pernah didatangi oleh seorang pemuda di dalam majlisnya di Madinah al-Munawwarah.

Pemuda tersebut mengatakan bahawa dia datang daripada negeri yang jauhnya 6 bulan perjalanan daripada Madinah.

Pemuda itu datang untuk bertanyakan satu masalah yang berlaku di tempatnya.

Al-Imam Malik رحمة الله تعالى, mengatakan bahawa, “Maaf, aku tidak pandai untuk menyelesaikannya.”

Pemuda tersebut hairan dengan jawapan Imam Malik, dan dia bertanya : “Bagaimana aku akan menjawab nanti bilamana ditanya oleh penduduk tempatku?”

Maka kata al-Imam Malik : “Katakan kepada mereka bahawa Malik juga tidak mengetahui bagaimana untuk menyelesaikannya.”

Cuba kamu lihat Abdullah betapa amanahnya mereka dengan ilmu. Berbeza dengan manusia zaman sekarang yang baru setahun jagung di dalam ilmu sudah mendabik dada mengaku bahawa seolah-olah mereka mengetahui segalanya.

Mereka sungguh mudah membidaahkan perkara-perkara khilaf dan menolak pandangan-pandangan ulama-ulama muktabar terdahulu dengan alasan yang pelbagai."

Pemuda : "MasyaAllah, terima kasih Pak Kiyai atas penjelasan yang sangat memuaskan. Saya memohon maaf atas kekasaran dan keterlanjuran bicara saya."

Pak Kiyai : "Sama-sama Abdullah. Semoga kamu akan menjadi seorang yang akan membawa panji agama kelak dengan ajaran yang benar, Insya Allah."